MENGENAL DESA : REGULASI, MASYARAKAT , KULTUR DAN KEPEMIMPINANNYA SERTA UPAYA PEMBERDAYAANNYA MELALUI DIKLAT “CAPACITY BUILDING” (Djonny Harijanto*)

IMG20160404100534.jpg
ABSTRAKS

Sejak lama desa diyakini sebagai unit terkecil sistem pemerintahan tempat segala kegiatan kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara berlangsung secara intens dan massif. Dengan adanya regulasi terbaru tentang desa yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Kepala Desa memiliki tugas, wewenang, kewajiban, hak dan tanggung jawab yang lebih kompleks dalam pengelolaan rumah tangganya yang tidak pernah sama lagi dengan masa sebelumnya.
Sebagaimana diamanatkan regulasi yang baru ini bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Oleh karena itu terhadap Kepala Desa sebagai penyelenggara pemerintahan desa dilakukan Capacity Building (Membangun Kapasitas) Training yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur bekerjasama dengan CSWS Airlangga secara subtansial bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang esensi UU No 6 tahun 2014 dengan segala kompleksitas permasalahan, dinamika perubahan masyarakat serta alternative solusinya. Mengingat bahwa Kepala Desa yang berasal dari berbagai latar belakang kultur, pendidikan, pengalaman dan daerah yang berpengaruh besar terhadap perilaku keseharian mereka di diklat, metodologi pembelajaran yang dilaksanakan berorientasi pada tujuan akhir. Pengembangan metode pembelajaran antara lain dengan : case study dengan kasus riil yang relevan, aspek perluasan pemahaman berdasarkan 5C ( context, content, construct, correlation dan comparison), aspek pendalaman pemahaman dengan 5W+H (what, when, where,who, why dan how), outdoor learning (dengan penugasan yang sama namun dilaksanakan diluar kelas) dan dengan penguatan “spiritual leadership” yang berusaha menyentuh sisi terdalam hati nurani peserta melalui pendekatan spiritual. Training of Capacity Building ini pada akhirnya yang ingin dicapai adalah perubahan pola pikir atau mindset Kepala Desa yang menjadi fokus sasaran utama proses diklat ini. Sehingga proses perubahan paradigma menjadi kata kunci dalam sebuah tujuan akhir pembelajaran termasuk didalamnya “ Training of Capacity Building” bagi para Kepala Desa yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur bersama CSWS Universitas Airlangga Surabaya.

1. Mengenal Desa
Sejak lama desa diyakini sebagai unit terkecil sistem pemerintahan tempat segala kegiatan kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara berlangsung secara intens dan massif, tidak hanya di Indonesia namun hampir di seluruh dunia. Desa, atau udik, menurut definisi “universal”, adalah sebuah aglomerasi permukiman di area perdesaan (rural).
Di Negara Barat yang secara cultural berbeda dengan negara-negara Timur konsep “village” memang sedikit berbeda namun tetap memiliki esensi yang sama. Di Provinsi Otsuka (Jepang) pemberdayaan di tingkat desa juga sedemikian kuatnya sehingga semangat memberdayakan masyarakat melalui konsep “one village, one product” pernah diadopsi dan digalakkan beberapa tahun yang lalu di Jawa Timur meskipun tidak berlanjut. Di Filippina, desa disebut sebagai “barangay” yang menjadi cikal bakal proses demokratisasi, partisipasi masyarakat, pembangunan dan pemerataan pembangunan bagi masyarakat.
Sementara itu desa di Indonesia memiliki makna khusus baik secara definisi, cultural, lokalitas, dan realitas. Di Indonesia, istilah desa adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala Desa. Sebuah desa merupakan kumpulan dari beberapa unit pemukiman kecil yang disebut kampung (Banten, Jawa Barat) atau dusun (Yogyakarta) atau banjar (Bali) atau jorong (Sumatera Barat). Kepala Desa dapat disebut dengan nama lain misalnya Kepala Kampung atau Petinggi di Kalimantan Timur, Klèbun di Madura, Pambakal di Kalimantan Selatan, dan Kuwu di Cirebon, Hukum Tua di Sulawesi Utara. Sejak diberlakukannya otonomi daerah Istilah desa dapat disebut dengan nama lain, misalnya di Sumatera Barat disebut dengan istilah nagari, di Aceh dengan istilah gampong, di Papua dan Kutai Barat, Kalimantan Timur disebut dengan istilah kampung. Begitu pula segala istilah dan institusi di desa dapat disebut dengan nama lain sesuai dengan karakteristik adat istiadat desa tersebut. Hal ini merupakan salah satu pengakuan dan penghormatan Pemerintah terhadap asal usul dan adat istiadat setempat. Regulasi atau aturan perundang-undangan tentang desa di Indonesia juga beberapa kali mengalami perubahan seiring dengan perubahan zaman.
Regulasi terbaru tentang desa sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 6 tahun 2014 pasal 1 menyatakan bahwa desa adalah ……..desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama yang lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus unsur pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul dan atau hak tradisional yang diakui dan dihormati oleh system Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan demikian memaknai desa haruslah komprehensif dan holistic, dan tidak semata secara fisik tetapi minimal dengan mempertimbangkan aspek-aspek cultural, tata nilai, norma, etika, sosiologis, leadership dan dinamika perubahan yang terjadi didalamnya.

2. Kepala Desa : perubahan tentang aspek leadership di tingkat desa
……a leadership is a vision, nothing more to say…. (Peter F.Drucker)
Pastilah banyak konsepsi dan definisi tentang kepemimpinan terutama pada tingkat desa tetapi premis manajemen tentang kepemimpinan oleh Peter F.Drucker sebagaimana dikutip diatas sangat mutlak diimplementasikan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tetang Desa, kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa. Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Wewenang Kepala Desa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tetang Desa pasal 26 ayat (2):
a. memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa;
c. memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa;
d. menetapkan Peraturan Desa;
e. menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
f. membina kehidupan masyarakat Desa;
g. membina ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;

h. membina dan meningkatkan perekonomian Desa serta mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa;
i. mengembangkan sumber pendapatan Desa;
j. mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
k. mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa;
l. memanfaatkan teknologi tepat guna;
m. mengoordinasikan Pembangunan Desa secara partisipatif;
n. mewakili Desa di dalam dan di luar pengadilan atau menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
o. melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hak Kepala Desa dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tetang Desa pasal 26 ayat (3):
a. mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa;
b. mengajukan rancangan dan menetapkan Peraturan Desa;
c. menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan;
d. mendapatkan pelindungan hukum atas kebijakan yang dilaksanakan; dan
e. memberikan mandat pelaksanaan tugas dan kewajiban lainnya kepada perangkat Desa.
Kewajiban Kepala Desa dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tetang Desa pasal 26 ayat (4):
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
b. meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
c. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;
d. menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan;
e. melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender;
f. melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme;
g. menjalin kerja sama dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan di Desa;
h. menyelenggarakan administrasi Pemerintahan Desa yang baik;
i. mengelola Keuangan dan Aset Desa;
j. melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa;
k. menyelesaikan perselisihan masyarakat di Desa;
l. mengembangkan perekonomian masyarakat Desa;
m. membina dan melestarikan nilai sosial budaya masyarakat Desa;
n. memberdayakan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan di Desa;
o. mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup; dan
p. memberikan informasi kepada masyarakat Desa.
Esensi pasal 26, 27 dan seterusnya yang mengatur tentang Kepala Desa dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 secara eksplisit menyebutkan betapa kompleksnya kewenangan, hak dan tanggung jawab Kepala Desa dalam hal mengelola rumah tangga desanya. Terdapat beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, yaitu :
1. Kepastian hukum
2. Tertib penyelenggaraan pemerintahan
3. Proporsionalitas, profesionalitas dan akuntabilitas
4. Tertib kepentingan umum dan keterbukaan
5. Partisipasi, keberagaman dan kearifan lokal
6. Efektifitas dan efisiensi
Tugas, wewenang, kewajiban, hak dan tanggung jawab sesuai dengan regulasi terbaru tentang desa tersebut memberikan pengaruh besar terhadap Kepala Desa bahwa pengelolaan rumah tangga dengan segala kompleksitas dan perubahan didalamnya, tidak pernah sama lagi dengan masa sebelumnya.
Kepemimpinan akan menuntut beberapa aspek terhadap Kepala Desa sebagai “leader of village” yaitu fungsi sebagai :
1. decision maker
2. problem solver
3. resources allocator
4. future designer
bagi desa, masyarakat dan tata nilai yang ada didalamnya.

3. Training of Capacity Building
Manajemen modern mensyaratkan adanya 4 (empat) unsur profesionalitas, yaitu :
1. kompetensi
2. kapasitas
3. kapabilitas
4. kredibilitas
sebagai salah satu unsur dominan dalam pembentukan profesionalisme dalam pengelolaan desa, maka sudah sepatutnya Kepala Desa dibekali dengan unsur membangun kapasitas dalam dirinya, selain kompetensi, kapabilitas dan kredibilitas dari masyarakat yang dipimpinnya. Hal demikian dalam rangka untuk mewujudkan Kepala Desa yang mampu melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Capacity Building (Membangun Kapasitas) Training yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur bekerjasama dengan CSWS Airlangga secara subtansial bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang esensi UU No 6 tahun 2014 dengan segala kompleksitas permasalahan, dinamika perubahan masyarakat serta alternative solusinya. Pendidikan dan pelatihan pasti bukan hanya berorientasi jangka pendek dan solutif untuk menyongsong impementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 semata, namun orientasi jangka panjangnya diharapkan mampu berperan sebagai “Implementasi Road Map” atau bahkan “Implementation Guide Blue Print” untuk menterjemahkan regulasi terbaru tentang desa tersebut dalam realitasnya.
Tantangan desa akan mencakup kompeksitas :
a. lokalitas dan globalitas (termasuk Masyarakat Ekonomi Asean 2015)
b. perubahan system tata nilai dalam masyarakat desa (nilai, norma, moral dan etika pada umumnya)
c. perubahan kultural secara umum (etika, artefak, mentefak, ipsefak dan belief di masyarakat desa)
d. perubahan paradigma tentang kebangsaan, kemasyarakatan dan dominasi persepsi tentang materialism, konsumtivisme dan hedonism
e. degradasi daya juang, permasalahan kenegaraan yang ditonton masyarakat desa dan masih lemahnya peran kelembagaan desa memperjuangkan komunitas desa
f. merebaknya media social (TV, gadget, medsos lainnya) yang mempengartuhi pola hidup, pola pikir dan perilaku masyarakat desa
g. urbanisasi, melemahnya lembaga adat dan merebaknya narkoba, pergaulan melewati batas keadaban dan lainnya

4. Metodologi Pembelajaran Training of Capacity Building
Tujuan akhir akan sangat menentukan berhasil tidaknya sebuah kegiatan termasuk diklat, sebagaimana aspek kedua dalam disiplin “the 8 Habits of the Most Effective People “(Stephen R. Covey) yang berbunyi ……begin with the end in mind (mulailah dari tujuan akhir). Tujuan akan lebih efektif dan efisien untuk dicapai bila bersifat “SMART” (specific, measurable, achievable, relevant dan timely)
Secara faktual pasti pembelajaran saat ini telah memenuhi unsur dan kaidah metodologi pembelajaran, namun tetap tersedia ruang untuk memperkaya metodenya antara lain dengan :
1. case study dengan kasus riil yang relevan
2. aspek perluasan pemahaman berdasarkan 5C ( context, content, construct, correlation dan comparison)
3. aspek pendalaman pemahaman dengan 5W+H (what, when, where,who, why dan how)
4. outdoor learning (dengan penugasan yang sama namun dilaksanakan diluar kelas)
5. penguatan “spiritual leadership” yang berusaha menyentuh sisi terdalam hati nurani peserta melalui pendekatan spiritual
mengingat bahwa subyek pembelajar (Kepala Desa) adalah seorang “street smart” yang berasal dari berbagai latar belakang kultur, pendidikan, pengalaman dan daerah yang berpengaruh besar terhadap perilaku keseharian mereka di diklat.

5. Everything is a change of paradigm ……
Pada akhirnya tujuan akhirlah yang menjadi penentu setiap kegiatan, apapun bentuknya. Mainstream, nawaitu atau tujuan akhir itulah yang menjadi pemandu bagaimana diklat ini hendak dilaksanakan. Metode, kurikulum, silabus, atau apapun istilahnya adalah sekedar instrument untuk mencapai tujuan.
Pada akhirnya perubahan pola pikir atau mindset Kepala Desa lah yang menjadi fokus sasaran utama proses diklat ini. Sebagaimana teori “Gunung Es/ Iceberg Theory” dari Spencer and Spencer yang menyatakan bahwa apa yang Nampak di permukaan gunung es seorang manusia (pengetahuan, ketrampilan dan perilaku) hanyalah sebuah fenomena atau akibat dari sebuah kedalam gunung es manusia yaitu “causa prima” yang berupa :
1. Watak/ karakter
2. Mental model
3. Motivasi
Sehingga proses perubahan paradigma menjadi kata kunci dalam sebuah tujuan akhir pembelajaran termasuk didalamnya “ Training of Capacity Building” bagi para Kepala Desa yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur bersama CSWS Universitas Airlangga Surabaya.
Mengutip pendapat Peter M. Senge dalam “the Fifth Discipline” bahwa tidak akan pernah ada perubahan paradigm manusia tanpa menerapkan beberapa disiplin kunci yang disebut “Disiplin Kelima” yaitu :
1. Systems Thinking
2. Personal Mastery
3. Mental models
4. Building Shared Vision
5. Team Learning
Sehingga patut pula dipertimbangkan dengan seksama pendapat senada tentang perubahan paradigm, sebagaimana kata bijak Mahatma Gandhi :

……..hati-hati dengan pikiranmu, pikiranmu menentukan ucapanmu …..
……hati-hati dengan ucapanmu, ucapanmu menentukan tiindakanmu……
…hati-hati dengan tindakanmu, tindakanmu menentukan kebiasaanmu …..
…..hati-hati dengan kebiasaanmu, kebiasaanmu menentukan hidupmu…… dan…
…….hati-hati dengan hidupmu, hidupmu menentukan takdirmu……

Surabaya. 30 Januari 2015

Dr. DJONY HARIJANTO, MDM

*Penulis adalah Widya Iswara Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur

 

DAFTAR PUSTAKA

The Peter F. Drucker and Masatoshi Ito Graduate School of Management. 2010. Drucker Differece, New York.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Stephen R. Covey. 2010. The 8 Habits of The Most Efective People, New York.

Peter M. Senge, dalam Modul Pembelajaran Diklatpim 2 oleh LAN-RI Tahun 2009.

Strategi Pengembangan Diri, Personal Development Training, Jakarta 2006.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *