Implementasi Undang-Undang No. 6 Th. 2014 Tentang Desa Di Jawa Timur (Suilyas*)

Desa memiliki peran strategis dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam dapat menjadi  modal dasar,  peluang dan tantangan. Jika dikelola dengan baik, hal tersebut akan menjadi modal dalam mewujudkan cita-cita kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, apabila terjadi kesalahan dalam pengelolaan, hal tersebut akan menjadi masalah besar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pemerintah memiliki kewenangan dalam membuat kebijakan dalam rangka mendorong tumbuh kembangnya kreatifitas dan otoaktifitas masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Bentuk konkret kebijakan adalah dengan telah diterbitkannya berbagai peraturan perundangan yang telah diimplementasikan dalam bentuk program dan kegiatan. Selain fasilitasi dalam upaya pemberdayaan, pemerintah juga berkewajiban dalam menyediakan prasarana dasar yang menjadi hak masyarakat dalam upaya terwujudkan kesejahteraan sosial. Salah satu upaya mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat adalah memberikan otonomi kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan Desa, yaitu dengan memberi kebebasan berkreasi sesuai dengan kondisi dan potensi yang ada didaerahnya,  tetapi tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam membuat dan melaksanakan kebijakan, perlu dilibatkannya pihak-pihak terkait (stakeholders) dengan menggunakan prinsip-prinsip “good governance”. Dengan diberlakukannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemerintah desa memiliki peran, kewengan dan tanggung jawab yang besar dalam uapaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agar peran dan tanggung jawabnya dapat dijalankan secara benar dan  maksimal, diperlukan peneningkatan kapasitan Sumber Daya Manusia pemerintah desa.

Pendahuluan

Bahwa Desa memiliki hak asal-usul dan hak  tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia,  desa telah berkembang dalam berbagai bentuk, sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

Berdasarkan kalkulasi statistik, lebih dari 60 persen penduduk Indonesia adalah penghuni desa, sebagaian dari mereka hidup dalam kemiskinan struKtural yang tidak pernah berakhir (Rozaki, 2005:1). Wilayah pedesaan selalu dicirikan dengan rendahnya tingkat produktivitas kerja, tingginya tingkat kemiskinan, dan rendahnya kualitas hidup dan pemukiman. Pedesaan dianggap sebagai daerah yang tertinggal, miskin, dan pembangunannya lambat karena jauh dari pusat pemerintahan. Padahal sebenarnya kawasan pedesaan memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, hanya saja belum dimanfaatkan dengan maksimal (Awang, 2010:45).

Masyarakat desa masih menggantungkan kehidupannya pada sektor pertanian, dan bergantung pada alam (musim). Pengembangan potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusianya masih sangat minim. Hal tersebut dilatar belakangi oleh faktor pendidikan yang rendah, minimnya modal untuk pengembangan, dan anggapan bahwa masyarakat desa adalah masyarakat yang miskin dan hidup sederhana , dan kemiskinan tersebut warisan nenek moyangnya (Roziki, 2005:2)

Desa memiliki dua potensi yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangannya, yaitu potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kedua sumber daya tersebut harus saling mendukung dan melengkapi. Pengembangan sumber daya alam harus dibarengi dengan peningkatan sumber daya manusianya (Roziki, 2005:107) .

Pengembangan sumber daya manusia dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat, dengan tujuan untuk mewujudkan masyarakat yang mandiri, mampu menggali dan memanfaatkan potensi-potensi yang ada di desanya, dan membantu masyarakat dari keterbelakangan dan kemiskinan. Pemberdayaan juga sebagai memberikan atau meningkatkan kekuasaan, keberdayan kepada masyarakat yang lemah (Awang, 2010:47)

Setiap desa memiliki potensi, kondisi daerah, dan karakteristik masyarakat yang berbeda-beda. Intinya bahwa masing-masing desa memiliki ciri khas yang berbeda dengan desa lainnya. Untuk itu dalam upaya pemberdayaan, masyarakat desa setempat harus lebih banyak terlibat dalam kegiatan tersebut. Karena masyarakatnya lebih mengetahui potensi dan kondisi desanya. Pemerintah hanya bertindak sebagai fasilitator yang mendukung program pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, karena yang menjadi subyek dari pemberdayaan adalah masyarakat desa itu sendiri (Awang, 2010:49).

Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan di pusat, provinsi, dan kabupaten atau kota dalam rangka penataan kembali desa dengan Kebijakan ini dapat membangun otonomi daerah yang membuat setiap daerah memiliki kewenangan yang cukup besar dalam mengambil keputusan yang dianggap sesuai (Awang, 2010:39). Pelaksanaan otonomi daerah yang telah dimulai sejak 2001 mengandung konsekuensi yang cukup “menantang” bagi daerah. Di satu sisi, kebebasan berkreasi membangun daerah benar-benar terbuka lebar bagi daerah (Sujamto, 1983:21).

Namun demikian, di sisi yang lain telah menghadang setumpuk masalah yang harus diselesaikan. Masalah yang sangat mendasar adalah perubahan pola pengelolaan daerah dari sentralistik menjadi desentralisasi, misalnya sumber dana untuk membiayai pembangunan, sumber daya manusia sebagai aparat pelaksana seluruh aktivitas pembangunan, dan masih banyak yang lain (Roziki, 2005:11).

Dalam implementasi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa memiliki kewenangan berdasarkan hak asal usul, kewenangan lokal berskala desa, kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi atau  Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk melaksanakan kewenangan tersebut pada desa diberikan biaya/anggaran yang berasal dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang prosentasenya sekitar 10 persen.

Kondisi tersebut, bila tidak dilakukan dengan transparan dan dialokasikan secara tepat, berpotensi mis alokasi dan menjadi sarang korupsi di tingkat desa, beresiko terjadinya permasalahan hukum atas penggunaan anggaran, dan tidak menutup kemingkinan inplementasi UU Desa bukan mensejahterakan, malah berpotensi merusak tatanan dan akan banyak membawa korban perangkat desa untuk berhadapan dengan aparat penegak hukum.

I. Peluang

Masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya. Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan. Golongan orang-orang tua dan tokoh masyarakat umunya memegang peranan penting. Keunggulan dari masyarakat desa dibandingkan dengan masyarakat perkotaan diantaranya :

1) Tingkat kekentalan terhadap Agama lebih menonjol;

2) Sifat kekeluargaan yang bergotong-royong masih menjadi ciri khas yang relatif masih banyak ditemui;

3) Sikap sopan santun yang masih melekat pada setiap anggota masyarakatnya masih menjadi modal utama kehidupan masyarakat desa;

4) Kebiasaan adat istiadat yang selalu menjadi sumber dari kegiatan desa masih menjadi patokan dalam ritual kebudayaan (alfarisalman92.blogspot.com)

Dari keunggulan tersebut jika dipahami dengan baik oleh penyelenggara pemerintah, maka akan menjadi peluang dan modal dalam mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.

II. Tantangan

Kapasitas perangkat desa yang beragam dalam kemampuan mengelola pemerintahan desa dengan jumlah dana yang cukup besar, terutama terkait dengan kemampuan dalam  tata kelola desa yang baik masih lemah. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Pemahaman kepala desa terkait potensi desa serta memformulasikannya dalam kebijakan berupa peraturan desa, anggaran, serta pelayanan dasar perlu ditingkatkan.

Kesiapan warga untuk terlibat aktif dalam proses perencanaan dan kemampuan melakukan monioring terhadap program-program yang dilakukan desa. Selain cek and balance yang akan diamanahkan oleh UU ini melalui BPD, warga dituntut lebih aktif memonitor dan memberi masukan. Untuk dapat terlibat aktif, dibutuhkan pemahaman yang baik dari warga terkait fungsi dan perannya.

Dari tantangan diatas, peningkatan kapasitas pemerintah dan warga desa menjadi yang utama, hal ini mengingat otonomi berkorelasi dengan kemampuan, dengan ragam kapasitas yang dimliki desa baik sumber daya dana maupun manusia, memerlukan pendampingan serius. Bila tidak tujuan otonomi desa bukan menguatkan, tetapi justru memperlemah sendi-sendi otonomi desa.

III. Kewajiban Pemerintah

Para pendiri bangsa dalam menyatakan kemerdekaan Indonesia, salah satu tujuannya adalah dalam rangka memajukan kesejahteraan umum, dan di konstitusi telah  diakomodasi  dalam bentuk Jaminan Kesejahteraan Sosial:

  1. Setiap warga negara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya. (Pasal 1 UU no.6 tahun 1974).
  2. Fakir miskin berhak mendapatkan pemeliharaan dari negara (Pasal 34 UUD 1945).
  3. Fakir miskin berhak mendapatkan sarana bantuan sosial dan rehabilitasi sosial. (Pasal 2 Peraturan Pemerintah RI no.42 tahun 1981).
  4. Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan hokum
  5. Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
  6. Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan di dalam pemerintahan
  7. Setiap warga negara bebas untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing yang dipercayai
  8. Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran (heriimarun.blogspot.com)

Dalam upaya implementasi peraturan dimaksud, Pemerintah/Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi dan meneyediakan infrastruktur pendukung yang diperlukan oleh masyarakat desa sesuai dengan kondisi dan potensinya.

IV. Kebijakan Pemerintah

Pemerintah mengaktualisasikan paradigma pembangunan harus lebih mengarah kepada langkah-langkah yang menuju pemerataan kemakmuran. Karena itu visi pembangunan nasional terhadap wilayah pedesaan hendaknya merupakan pembangunan pedesaan untuk kemakmuran rakyat demi tercapainya keserasian dengan masyarakat kota, sedangkan misi yang diemban perlu antara lain memprioritaskan upaya pemberdayaan masyarakat pedesaan (Sujamto, 1983:93).

Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan dipusat,provinsi,dan kabupaten atau kota dalam rangka penataan kembali desa dengan. Kebijakan ini dapat membangun otonomi daerah yang membuat setiap daerah memiliki kewenangan yang cukup besar dalam mengambil keputusan yang dianggap sesuai (Awang, 2010:39).

Dengan Implementasi kebijakan bagian dari dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan (Solichin, 1990:6). sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.Impelmentasi kebijakan pemberdayaan pemerintahan desa kiranya sangat urgen untuk dilakukan (Awang, 2010:38) Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang mandiri, mampu menggali dan memanfaatkan potensi-potensi yang ada didaerahnya, dan membantu masyarakat untuk terbebas dari keterbelakangan atau kemiskinan,pemberdayaan juga sebagai memberian atau meningkatkan kekuasaan keberdayaan kepada masyarakat yang lemah (Awang, 2010:47) .

Konsep “good governance” melibatkan tidak sekedar pemerintah dan Negara,tapi juga peran berbagai actor diluar pemerintah dan Negara,sehingga pihak-pihak yang terlibat juga sangat luas(Awang, 2010:70). Governance adalah mekanisme pengelolahan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sector negara dan sector non pemerintahan dalam suatu kegiatan kolektif.

Good governance, memiliki kriteria yang berkemampuan untuk memacu kompetisi,akuntabilitas,responsip terhadap perubahan,transparan,berpegang pada aturan hukum,mendorong adanya partisipasi pengguna jasa,mementingkan kualitas,efektif dan efisien,mempertimbangkan rasa keadilan bagi seluruh pengguna jasa,dan terbagunnya satu orientasi pada nilai-nilai. Lebih lanjut ditegaskan bahwa apabila dilihat dari segi aspek fungsional,governance dapat ditinjau dari apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan yang telah digariskan atau sebaliknya(Awang, 2010:72) .

Pelaksanaan otonomi daerah yang telah dimulai sejak 2001 mengandung konsekuensi yang cukup “menantang” bagi daerah. Di satu sisi, kebebasan berkreasi membangun daerah benar-benar terbuka lebar bagi daerah (Sujamto, 1983:21) .

Namun demikian, di sisi yang lain telah menghadang setumpuk masalah yang harus diselesaikan. Masalah yang sangat mendasar adalah perubahan pola pengelolaan daerah dari sentralistik menjadi desentralisasi, misalnya sumber dana untuk membiayai pembangunan, sumber daya manusia sebagai aparat pelaksana seluruh aktivitas pembangunan, dan masih banyak yang lain (Roziki, 2005:11).

V. Otonomi Daerah

Otonomi secara harfiah adalah kewenangan mengurus diri sendiri. Kewenangan dapat dipahami sebagai hak legal secara penuh untuk bertindak,mengatur,dan mengelolah urusan rumah tangga sendiri.Kewenangan juga merupakan instrument administrative untuk mengelolah berbagai urusan. Kewenangan desa adalah hak dan kekuasaan pemerintahan desa dalam rangka otonomi desa,yang berarti desa mempunyai hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan atau kebutuhan masyarakat desa sesuai kondisi dan sosial adat budaya local setempat.Kewenangan akan memperkuat posisi dan eksistensi subyek pemilik kewenangan itu untuk secara leluasa dan otonom dalam mengambil keputusan(Awang, 2010:76).

Otonomi desa adalah kemandirian desa. Kemandirian desa merupakan masalah internal desa, rumah tangganya sendiri, yakni kemampuan mengelolah maupun membiayai pemerintahan,pembangunan,dan kemasyarakatan dengan bertumpu pada hasil sumber daya local,swadaya,dan gotong royong masyarakat..Swadaya masyarakat desa adalah kemampuandan keberdayaan masyarakat desa sendiri untuk melakukan aktifitas dan mengatasi masalah mereka. Sedangkan gotong royong adalah solidaritas sosial dan bagian dari modal sosial untuk menyangga kehidupan mereka berkelanjutan(Awang, 2010:77)

 Ada dua tujuan otonomi daerah, yaitu tujuan demokratisasi dan tujuan kesejahteraan. Tujuan demokratisasi pemerintahan meliputi pemerintahan daerah sebagai instrumen pendidikan politik ditingkat lokal, elemen dasar ciptakan kesatuan dan persatuan bangsa dan mempercepat terwujudnya masyarakat madani. Tujuan kesejahteraan dimana pemerintahan daerah melayani dan memberdayakan masyarakat guna peningkatan kesejaheraan umum melalui pemberian/penyediaan pelayanan yang prima. Keberadaan pemerintahan desa merupakan ujung tombak Pemerintah Kabupaten/Kota dalam mewujudkan pelayanan masyarkat. Hak masyarakat adalah memperoleh pelayanan yang sama dan adil, pengayoman dan perlindungan dari gangguan ketentraman dan ketertiban di desa ( pasal 68:1 UU Desa).

VI. Pemerintahan Desa

Secara umum di Indonesia, desa (atau yang disebut dengan nama lain sesuai bahasa daerah setempat) dapat dikatakan sebagai suatu wilayah terkecil yang dikelola secara formal dan mandiri oleh kelompok masyarakat yang berdiam di dalamnya dengan aturanaturan yang disepakati bersama, dengan tujuan menciptakan keteraturan, kebahagiaan dan kesejahteraan bersama yang dianggap menjadi hak dan tanggungjawab bersama kelompok masyarakat tersebut(cahayarahma.blogspot.com).

Sesaui dengan Undang-undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka Pemerintahan desa adalah penyelenggaran urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistim pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemerintahan desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa, yang masing-masing memiliki wewenang, hak dan kewajiban. Pemerinah desa adalah Kepala Desa dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Perangkat desa terdiri atas Sekretaris Desa,  Pelaksana Kewilayahan, dan Pelaksana Teknis. Perangkat desa diangkat oleh kepala desa dan bertanggng jawab kepada Kepala Desa.

Berdasarkan UU No. 6 Th. 2014, tentang Desa,  tujuan pengaturan desa adalah:

  • Memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  • Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa alam sisten ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
  • Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa;
  • Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama;
  • Membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien, dan efektif, terbuka serta bertanggung jawab;
  • Meningkatkan pelayanan publik badi warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
  • Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa guna mewjudkan masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian ketahan nasional;
  • Memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional dan
  • Meperkuan masyarakat desa sebagai subyek pembangunan.

Dengan kedudukan seperti diatas, bahwa desa memiliki status hukum yang jelas dan memiliki kedudukan strategis dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kewenangan desa meliputi:

  • Kewenangan berdasarkan hak asal usul;
  • Kewenangan lokal berskala desa;
  • Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Povinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota, dan
  • Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerinah Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan peratuan perundang-undangan.

Penugasan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabuaten/Kota kepada desa meliputi Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Pelaksanaan Pembangunan Desa, Pembinaan Kemasyarakatan Desa, dan pemberdayan masyarakat desa.

Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa, yaitu Kepala Desa dan dibantu oleh perangkat desa.

Kewenangan Kepala Desa:

  • Memimpin penyelenggaran pemerintahan desa;
  • Mengangkat dan memberhentikan perangkat desa;
  • Memegang kekuasaan pengelolaan keuangan dan aset desa;
  • Menetapkan peraturan desa;
  • Menetapkan anggaran pendapatan dan belanja desa;
  • Membina kehidupan masyarakat desa;
  • Membina ketentraman dan ketertiban masyarakat desa;
  • Membina dan meningkatkan perekonomian desa serta mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat desa;
  • Mengembangkan sumber pendapatan desa;
  • Mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa;
  • Mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat desa;
  • Memanfaatkan teknologi tepat guna mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif.

Mengingat kewenangan Kepala Desa yang begitu besar, diperlukan kemampuan manajerial yang baik, sehingga mampu manjalankan perannya dalam meningkatkan kesejaheraan masyarakat, dan bukan menimbulkan masalah.

Hak Kepala Desa

  • Mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa;
  • Mengajukan rancanan dan menetapkan peraturan desa;
  • Menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, serta penerimaan lain yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan;
  • Mendapatkan perlindungan hukum atas kebijakan yang dilaksanakan, dan
  • Memberikan mandat pelaksanaan tugas dan kewajiban lainnya kepada perangkat desa.

Kewajiban Kepala Desa:

  • Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika;
  • Meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa;
  • Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat desa;
  • Menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan;
  • Melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender;
  • Melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih serta bebas dari KKN;
  • Menjalin kerjasama dan koordinasi dengan seluruh pemenagku kepentingan di  desa;
  • Menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa yang baik;
  • Mengelola keuangan dan aset desa;
  • Melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa;
  • Menyelesaikan perselisaihan masyarakat di desa;
  • Mengembangkan perekonomian masyarakat desa;
  • Membina dan melestarikan nilai sosial budaya masyarakat desa;
  • Memberdayakan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan desa;
  • Mengembangkan potensi sumberdaya alam dan melestarikan lingkungan hidup.

Kepala Desa dilarang

  • Merugikan kepeningan umum;
  • Membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan atau glongan tertentu;
  • Menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan kewajibannya;
  • Melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan atau golongan masyarakat tertentu;
  • Melakukan tindakan meresahkan seleompok masyarakat desa;
  • Melakukan KKN, menerima uang, barang, danatau jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruh keputusan atau indakan yang akan dilakukannya;
  • Menjadi pengurus partai polotik;
  • Menjadi anggota dan atau pengurus organisasi terlarang;
  • Ikut serta dan atau terlibat dalam kampanye pemiligan umum dan atau pemilihan kepala daerah;
  • Melanggar sumpah/janji jabatan.

 

VII. Pembangunan Desa

Perlu untuk disadari bahwa proses pembangunan adalah suatu proses perubahan masyarakat. Proses perubahan ini mencerminkan suatu gerakan dari situasi lama (tradisional) menuju suatu situasi baru yang lebih maju (modern) dan belum dikenal oleh masyarakat. Perubahan yang dilakukan tersebut akan melalui proses transformasi dengan mengenalkan satu atau beberapa fase antara(Sujamto, 1997:154).

Pembangunan masyarakat (pedesaan) memerlukan suatu proses dan model tranformasi dari model lama menuju model baru (tujuan). Di sisi lain perlu pula untuk dipahami bahwa proses pembangunan merupakan suatu konsep yang optimistik dan memberikan pengharapan kepada mereka yang secara sukarela berpartisipasi dalam proses pembangunan. Sehingga perencanaan pembangunan baik sosial maupun budaya selalu perlu menyadari dan menemukan indikasi-indikasi perubahan tuntutan (Sujamto, 1997:155)

Pelaksanaan pembangunanpun hendaknya  tidak hanya menjadikan desa sebagai obyek pembangunan, tetapi sekaligus sebagai subyek pembangunan. Artinya obyek pembangunan adalah desa secara keseluruhan yang meliputi potensi manusia (SDM), Sumber Daya Alam (SDA) dan teknologinya, serta mencakup segala aspek kehidupan dan penghidupan yang ada di pedesaan(Rozaki, 2005:7). Menjadikan desa berkembang dimana taraf hidup kesejahteraan masyarakatnya meningkat.

Agar pembangunan wilayah desa menjadi terarah dan sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan masyarakat desa, maka mekanisme  perencanan pembangunan desa dilakukan mulai dari bawah dengan melibatkan seluruh stake holder.  Poses pembangunan yang dilaksanakan merupakan keinginan masyarakat desa. Dalam hal ini koordinasi antara pemerintahan desa dengan jajaran diatasnya (Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Kabupaten/Kota) harus terus menerus dilaksanakan dan dimantapkan.

VIII. Pemberdayaan masyarakat desa

Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata power (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melaksanakan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka (Awang, 2010:49). Menurut Awang, (Awang 2010:50) pemberdayaan menunjuk pada pemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehinga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam beberapa hal yaitu: memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan, dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, kebodohan dan kesakitan.

Dengan demikian pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu –individu yang mengalami masalah kemskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, mandiri dalam malaksanakan tugas-tugas kehidupannya (Awang, 2010:16)

Perlu dicermati bahwa hasil pemberdayaan tidak hanya menjadikan masyarakat pandai menuntut haknya, tetapi yang paling penting adalah paham tentang kewajiban dan perannya masing-masing, sehingga muncul partisipasi aktif yang produktif.

Pemerintah berupaya pemberdayaan masyarakat pedesaan yang mengaktualisasikan paradigma pembangunan harus lebih mengarah kepada langkah-langkah yang menuju pemerataan kemakmuran. Karena itu visi pembangunan nasional terhadap wilayah pedesaan hendaknya merupakan pembangunan pedesaan untuk kemakmuran rakyat demi tercapainya keserasian dengan masyarakat kota, sedangkan misi yang diemban perlu antara lain memprioritaskan upaya pemberdayaan masyarakat pedesaan. Strategi pembagunan Indonesia yaitu dengan cara peningkatan pemerataan pembagunan beserta hasil-hasilnya arah kebijakan pembagunan sektoral dan pemberdayaan masyarakat terutama dipedesaan(Muin, 2006:33).

PP No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa Pemberdayaan Masyarakat memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di desa ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui penetapan kebijakan, program dan kegiatan yang sesuai dengan esensi dan prioritas kebutuhan masyarakat (Awang, 2010:49).

Kebijakan pemerintah desa yang sejahtera dan mandiri merupakan konsep pemberdayaan masyarakat desa . Dengan asumsi apabila masyarakat desa berdaya maka mereka mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri secara mandiri. Selanjutnya mereka dapat membentuk pemerintahan sejahtera dan mandiri tidak ketergantungan dari pihak luar,Jadi pertama-tama masyarakat desa harus diberdayakan dulu dengan pemberdayaan.Selanjutnya setelah berdaya ,masyarakatn menjadi mandiri,maupun memenuhu kebutuhan ,mengatur,dan mengurus diri mereka sendiri.

IX. Pelayanan terhadap masyarakat

Rakyat  memberikan sebagian hak-nya kepada negara sebagi ganti negara akan melindunginya dari setiap mara bahaya serta berkewajiban untuk mengatur rakyatnya. Hak-hak rakyat tadi adalah kewajiban bagi sebuah negara dan telah dituangkan dalam peraturan perundangan. Menurut (Sujamto.1983:86) Pemberian pelayanan yang baik kepada masyarakat diharapkan menjadi lebih responsif terhadap kepentingan masyarakat itu sendiri, di mana paradigma pelayanan masyarakat yang telah berjalan selama ini beralih dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan masyarakat sebagai berikut :

  1. Lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi pelayanan masyarakat.
  2. Lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan aparat desa dan masyarakat sehingga masyarakat juga mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama.
  3. Menerapkan sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan tertentu sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas.
  4. Terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil, sesuai dengan masukan atau aspirasi yang diharapkan masyarakat.
  5. Lebih mengutamakan pelayanan apa yang diinginkan oleh masyarakat.
  6. Memberi akses kepada masyarakat dan responsif terhadap pendapat dari masyarakat tentang pelayanan yang diterimanya.

Semenjak gerakan reformasi digulirkan dalam rangka merubah struktur kekuasaan menuju demokrasi dan desentralisasi, maka kebutuhan masyarakat terhadap suatu pelayanan prima dari pemerintah, dalam hal ini pemerintah desa menjadi sangat penting. Diawali dengan Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dan selanjutnya dilakukan revisi menjadi Undang-Undang No 32 Tahun 2004 , yang telah dijadikan landasan yuridis untuk menggeser fokus politik ketatanegaraan, diawali desentralisasi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada daerah.Dan sekarang menjadi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 73 tentang Pemerintahan Kelurahan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 72 tentang Pemerintahan Desa (Awang, 2010:79).

 

Kesimpulan

Dengan diberlakukannya UU Desa, ada kepastian hukum dan kewenangan, maka ada peluang Kepala Desa/Pemerintah Desa untuk berperan besar mempercepat terwujudnya masyarakat adil makmur seperti yang dicita-citakan pendiri bangsa.

Disamping peluang yang besar dan diikuti alokasi anggaran yang besar, ada juga resiko besar mengancam Kepala Desa jika tidak diikuti dengan pemahaman dalam implementasi peraturan perundangan  yang benar dan bertanggung jawab.

Dengan adanya kemajuan teknologi informasi, menjadikan masyarakat desa semakin kritis, sehingga jika Kepala Desa tidak melaksanakan kepemerintahan yang baik (good governance) akan memunculkan ketidak percayaan masyarakat sehingga bukan kesejahteraan yang didapat tetapi justru masalah yang didapat. Sebaliknya jika Kepala Desa mampu menjalannkan prinsip-prinsip good governance, menjadi peluang munculnya partisipasi masyarakat.

Walaupun Kepala Desa status formalnya adalah kepala dimana dia memiliki kewenangan karena jabatan, tetapi diharapkan juga dia menjadi pemimpim desa. Sehingga dalam menjalankan tugas sebagai kepala dia mampu memimpin masyarakat desa, mampu menggerakkan seluruh potensi desa mewujudkan tujuan bersama desa.

Keberadaan pemerintahan desa tidak bisa dilepaskan dari adanya Pemerintah, Pemerinah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota. Masing-masing memiliki kewenangan dan peran yang berbeda-beda, walaupun tujuannya adalah sama, sama-sama meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Untuk itu diperlukan pemahaman dan menjalankan  peran masing-masing sehingga terjadi sinergi, saling mengisi, melengkapi, terhindar dari tumpang tindih. Hal ini akan berdampak pada efektifitas dan efisiensi pemanfaatan sumber daya pembangunan.

Dalam rangka tercapainya maksud dan tujuan implemenasi Undang-Undang Desa, diperlukan peningkatan kapasitas penyelenggara pemerintahan desa sesuai dengan potensi alam dan karakteristik sosial budaya masyarakatnya, bukan dalam rangka keseragaman tetapi dalam keberagaman.


*Penulis adalah Widya Iswara pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur

 

Daftar Pustaka

Awang,Azam.2010.ImpelementasiPemberdayaanPemerintahDesa.Yogyakarta:

PustakaPelajar.

Muin Fahmal.Januari 2006. Peran Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Layak

Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih . Jakarta : UII Press Yogyakarta.

Solichin,Abdul Wahab.maret 1990.Pengantar Analisis Kebijakasanaan Negara. Jakarta :RINEKA CIPTA.

Solichin ,Abdul Wahab.2008.Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke

Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta :Bumi Aksara.

Sujatmo.NoerdinAchmad.Sumarno.1997.Pokok-PokokPemerintahanDi Daerah.Jakarta:Rineka Cipta.

Sujamto.1983.Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab.Jakarta:Ghalia Indonesia.

Rozaki, Abdur.Maret 2005.Prakarsa Desentralisasi dan otonomi Desa,Yogyakarta :

IRE PRESS.

http://alfarisalman92.blokspot.com

http://heriimarun.blogspot.com

http://cayaharahma.blogspot.com

Redefinisi Akuntabilitas Dan Pembangunan Desa (Nasrun Annahar*)

Hampir semua kebijakan yang diperuntukkan bagi desa selama ini melupakan akar sosiologis, peta sosial budaya dan kearifan lokal sehingga tidak pernah mampu menyejahterakan masyarakat desa. Hal ini menjadi salah satu alasan lahirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pendekatan pembangunan desa yang sebelumnya bersifat sektoral berubah menjadi bersifat terpadu antara sektoral dan spasial (kewilayahan desa). Pengaturan desa ditujukan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat desa melalui penguatan prakarsa, gerakan dan partisipasi masyarakat. Dengan demikian pembahasan mengenai akuntabilitas dan pembangunan desa menjadi sebuah isu penting. Dalam paradigma lama akuntabilitas dimaknai sebagai laporan pertanggungjawaban dan keterbukaan akses atas tugas-tugas pemerintah. Dengan makna laporan pertanggungjawaban, akuntabilitas menjadi formalistik di atas kertas dan cenderung selalu ada perbedaan antara laporan dengan kenyataan. Dengan pemaknaan sebagai keterbukaan akses, penerima manfaat dari pemberlakuan akuntabilitas adalah sekelompok elit dan justru merugikan sebagian besar masyarakat. Dalam paradigma New Public Governance, akuntabilitas dititikberatkan kepada jaminan perlindungan masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan. Proses untuk mencapai akuntabilitas, di samping membuka peluang agar masyarakat bersuara, pemerintah desa juga harus mampu melakukan pembinaan agar masyarakat menjadi capable dalam mengakses informasi dan berdaya dalam seluruh aspek kehidupannya. Aspek terpenting berikutnya adalah redefinisi pendekatan pembangunan desa. Pembangunan harus mengakomodir penguatan lembaga ekonomi maupun non-ekonomi, berfokus pada pengembangan kualitas sumber daya manusia dan pengambangan usaha ekonomi produktif yang sesuai dengan potensi yang sesuai dengan SDA dan SDM masyarakat desa.

Kata Kunci: Akuntabilitas, new public governance, pembangunan desa.

Kilas Balik

Sejak lama, desa di Indonesia telah eksis dan mengalami berbagai dinamika. Kartohadikoesoemo memaparkan bahwa desa telah ada sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum korporatif jauh sebelum era kemerdekaan bahkan sebelum era kerajaan-kerajaan.[1] Desa-desa ini dibentuk atas dasar adanya golongan-golongan penduduk yang memiliki kepentingan yang sama. Kesatuan kepentingan ini kemudian dikelola oleh (yang saat ini kita kenal sebagai) pemerintah desa.

Seiring berjalannya waktu, aktivitas masyarakat desa terus berjalan, perhatian publik terhadap desa terus mengalir, program pembangunan desa dari pemerintah pusat tidak pernah putus, dan bantuan keuangan senantiasa masuk ke desa. Secara formal, semua kebijakan pembangunan desa mengedepankan sederet tujuan yang mulia: “modernisasi pemerintahan desa, mengubah wajah fisik desa, memberikan layanan sosial kepada masyarakat, mengentaskan kemiskinan, memberdayakan masyarakat, meningkatkan taraf hidup masyarakat, membangun ketahanan sosial desa, dan sebagainya”.

Sebaliknya, kajian ilmiah tentang desa lebih banyak mengkritisi berbagai pengaturan dan kebijakan yang dilancarkan oleh pemerintah pusat. Di balik “cerita sukses” yang terdengar selama Orde Baru, kebijakan yang terpusat itu tidak secara signifikan mengangkat human well being masyarakat desa. Problem kemiskinan selalu menghantui desa, pengangguran semakin meningkat, urbanisasi semakin pesat, kualitas pendidikan dan kesehatan yang tidak meningkat dengan baik, gagal panen, petani dan nelayan menjerit, program swasembada beras gagal, ketimpangan desa-kota semakin lebar, dan sederetan masalah lainnya.

Upaya mengatasi kemiskinan di desa sebenarnya telah dimulai sejak awal dekade tahun 1970-an diantaranya melalui program Bimbingan Masyarakat (Bimas) dan Bantuan Desa (Bandes).[2] Tetapi upaya tersebut mengalami titik jenuh pada pertengahan tahun 1980-an, dengan demikian upaya penurunan kemiskinan di tahun 1970-an menjadi tidak maksimal, jumlah penduduk miskin pada awal 1990-an kembali naik.

Atas dasar terjadinya peristiwa krisis ekonomi 1997, pemerintah melaksanakan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk menutupi penurunan daya beli mayoritas penduduk.[3] Upaya tersebut dilanjutkan dengan melaksanakan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dengan sasaran pembangunan perdesaan. Sebagai kelanjutan Program JPS, pemerintah juga melaksanakan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM).

Upaya menyejahterakan masyarakat desa berikutnya adalah diberlakukannya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan. Seperti program-program yang telah mendahuluinya, PNPM Perdesaan juga dianggap “gagal”. Beberapa contoh kegagalannya seperti, tidak mampu memberdayakan dan menciptakan kondisi masyarakat yang partisipatif, terlalu banyak digunakan untuk pembangunan infrastruktur, selain itu item program andalan yaitu kredit (simpan pinjam perempuan) juga mengalami kemandekan.

Para praktisi pemberdayaan masyarakat di luar pelaku PNPM menilai bahwa terdapat kesalahan substansial dan ideologis yang terkandung dalam program PNPM Perdesaan.[4] Pertama, program PNPM tidak memiliki konsepsi ideologi yang jelas bagi pembelaan terhadap masyarakat miskin. PNPM dianggap sebagai “obat” penyembuh luka yang terlanjur membusuk akibat kemiskinan yang timbul karena sistem ideologi kebijakan ekonomi politik neoliberal. Bank Dunia sebagai pemberi utang termasuk sumber dana PNPM semakin meneguhkan berlakunya neoliberalisme. Kedua, dana yang berasal dari hutang terhadap bank dunia tentu menjadi beban anggaran negara secara tidak langsung juga menjadi beban bagi rakyat, akhirnya rakyat menanggung beban tersebut dengan berbagai pajak yang semakin meningkat. Ketiga, PNPM Perdesaan tidak memiliki konstruksi pemahaman yang utuh terhadap akar sosiologis kemiskinan, peta sosial budaya dan kearifan lokal masyarakat desa.

Sejatinya bukan hanya PNPM Perdesaan, hampir semua kebijakan yang diperuntukkan bagi desa selama ini banyak melupakan akar sosiologis, peta sosial budaya dan kearifan lokal masyarakat desa. Diskusi bersama dengan kepala desa dari berbagai kabupaten di Provinsi Jawa Timur, menyimpulkan bahwa program beras untuk keluarga miskin dirasa tidak membantu mengurangi kemiskinan. Menurut penuturan para kepala desa, meskipun masih ada keluarga yang tergolong miskin, tidak ada masyarakat Jawa Timur yang kelaparan dan kekurangan beras. Program beras untuk keluarga miskin justru menimbulkan masalah serius bagi desa.[5]

Karena desa diposisikan sebagai objek Pembangunan maka terjadi beberapa implikasi di tingkat mikro maupun makro. Di tingkat makro pembangunan yang bersifat proyek menyebabkan tidak adanya kesinambungan program dari satu tahun ke tahun berikutnya, faktor politik menyebabkan lokasi pembangunan desa yang tidak merata. Di tingkat mikro, terjadi fragmentasi (tumpang tindih) kegiatan pemerintah pusat maupun daerah di desa, terjadi fragmentasi lembaga pelaksana kegiatan di desa serta fragmentasi kelompok sasaran pembangunan.

Menatap Masa Depan

Atas dasar fenomena yang telah dipaparkan sebelumnya, akhirnya lahirlah UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pendekatan pembangunan desa yang sebelumnya bersifat sektoral (direncanakan dan dikerjakan oleh Kementrian dan Satuan Kerja Perangkat Daerah), berubah menjadi bersifat terpadu antara sektoral dan spasial (kewilayahan). Artinya, program-program pembangunan yang bersifat spasial dan berbasis desa akan diintegrasikan secara terpadu dalam perencanaan desa dan dana program-program itu dimasukkan ke dalam APBDes.

Integrasi secara terpadu tersebut mempunyai beberapa tujuan. Pertama, menghindari terjadinya “dualisme” perencanaan dan pengelolaan pembangunan, sebagaimana desa mengelola perencanaan rutin serta agenda pembangunan lainnya (misalnya PNPM Mandiri) yang berada di luar sistem anggaran desa. Dalam prakteknya perencanaan rutin justru sering terbengkelai karena kurang memiliki kepastian dana, sementara program-program luar itu memasok dana yang lebih besar dan lebih pasti. Kedua, desa akan lebih fokus merencanakan dan melaksanakan pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya sendiri.

Konstruksi baru perencanaan desa bukanlah perencanaan daerah yang berada di desa, melainkan sebagai sebuah sistem perencanaan yang berhenti di tingkat Desa atau dikelola sendiri (self planning) oleh Desa serta berbasis pada masyarakat setempat, dengan tetap mengacu pada perencanaan daerah yang telah ditetapkan. Perencanaan desa memiliki tujuan:

  1. Memotong mata rantai prosedur perencanaan bertingkat (bottom-up) yang terlalu panjang,
  2. Membawa perencanaan betul-betul dekat pada masyarakat di Desa sehingga agenda Pembangunan Desa menjadi lebih partisipatif dan responsif pada kebutuhan masyarakat setempat,
  3. Membuat proses subsidiaritas dalam pembangunan bekerja di level Desa, sehingga bisa memperkuat tanggung jawab, membuka proses pembelajaran dan membangkitkan prakarsa/potensi lokal,
  4. Perencanaan Desa akan lebih efektif menempa keleluasaan, kapasitas dan kemandirian Desa dalam menjalankan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat,
  5. Membuat kepastian pelayanan publik dan pemerataan pembangunan sampai ke level Desa yang dekat dengan rakyat,
  6. Menciptakan produktivitas, efisiensi dan efektivitas pembiayaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan Desa.[6]

Di sisi lain, pengaturan desa menurut pasal 4 UU No. 6 Tahun 2014 bertujuan untuk:

  1. memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  2. memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
  3. melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
  4. mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
  5. membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
  6. meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
  7. meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
  8. memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan
  9. memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.

Meskipun dalam bahasa yang berbeda, namun antara pendekatan teoritis dan pendekatan yuridis di atas, keduanya merupakan sebuah kesatuan, sistem atau rangkaian proses untuk menuju satu keadaan yang dicita-citakan yaitu mencapai kesejahteraan masyarakat desa. Kesejahteraan masyarakat desa adalah tujuan akhir yang dapat dicapai melalui upaya penguatan prakarsa, gerakan dan partisipasi masyarakat. Dengan demikian, melalui “satu kali dayung” tulisan ini, akan terlampaui “dua pulau” pembahasan isu yakni bagaimana meluruskan kesesatan pemahaman mengenai akuntabilitas dan bagaimana strategi memberdayakan masyarakat desa.

Sesat Pikir Pemahaman Akuntabilitas

Dalam pemahaman tradisional, akuntabilitas selalu terkait dengan pertanggungjawaban. Memaknai akuntabilitas sebagai pertanggungjawaban sebenarnya hanya mengemukakan sinonimnya saja bukan mendefinisikannya.

Akuntabilitas merujuk pada sebuah relasi antara suatu pemilik hak atau pemilik klaim yang sah dan agen-agen atau badan-badan yang bertanggung jawab untuk memenuhi atau menghormati hak tersebut. Relasi akuntabilitas yang paling dasar ialah relasi di antara seseorang atau badan yang diserahi kepercayaan untuk menjalankan suatu tugas tertentu atau kekuasaan atau sumber daya tertentu di satu sisi, dan ‘pelaku’ yang demi kepentingannya tugas itu dijalankan di sisi lain. Dengan begitu, akuntabilitas merupakan suatu relasi kekuasaan yang bersifat dua arah. Akuntabilitas merujuk pada tugas untuk menjadi akuntabel sebagai imbalan bagi pendelegasian suatu tugas, suatu kekuasaan atau suatu sumber daya.[7]

Merujuk pada pandangan Lawson dan Rakner di atas maka akuntabilitas merupakan relasi atau sesuatu yang bersifat dua arah bukan sekadar menyampaikan laporan keuangan maupun membuka informasi terkait dengan pelaksanaan tugas pemerintah.

Dalam khazanah paradigma Old Public Administration, akuntabilitas dikaitkan dengan pertanggungjawaban lembaga pemerintah terhadap lembaga yang lebih tinggi (atasan) dan kepada masyarakat melalui lembaga legislatif. Dalam konteks pelaksanaan tugas pemerintah desa dan dikaitkan dengan perspektif ini, akuntabilitas pemerintah desa terhadap masyarakat luas dianggap telah terpenuhi manakala pemerintah desa telah menyerahkan laporan pertanggungjawaban kegiatan dan keuangannya kepada pemerintah supra-desa (Kabupaten/ Kota) sebagai pihak yang memberi kekuasaan dan sumber daya untuk melakukan tugas-tugas tertentu, dan disampaikan pada BPD yang dianggap sebagai wakil dari masyarakat desa.

Dalam perspektif ini, akuntabilitas bisa dikatakan telah menunjukkan indikasi adanya relasi, namun relasi yang amat terbatas dan formalistik. Penyerahan laporan pertanggungjawaban secara otomatis menjadi manifestasi akuntabilitas. Pemerintah Desa dianggap akuntabel jika “pandai” mengerjakan laporan pertanggungjawaban yang “bagus” kemudian menyampaikannya kepada pemerintah kabupaten dan BPD.

Dalam pemahaman yang semacam ini, muncul masalah krusial, akuntabilitas dianggap terlalu mudah dan sempit karena hanya bermakna bertanggung jawab “di atas kertas”. Soal bagaimana pelaksanaan tugas yang sesungguhnya sama sekali tak terpantau dari teropong masyarakat di struktur pemerintah. Senyampang laporan pertanggungjawaban pemerintah desa tertulis dengan rapi, sejauh itu pula akuntabilitas dianggap “beres”. Desa yang telah sukses membuat laporan pertanggungjawaban secara rinci dan rapi maka akan disebut desa yang yang akuntabel.

Pola pikir seperti ini menyempitkan akuntabilitas dalam makna yang kaku dan rabun terhadap pelaksanaan tugas pemerintah desa sebagai agen pembangunan dan pemberdayaan. Publik tidak akan tahu bagaimana sejatinya pelaksanaan tugas desa sebagaimana yang telah diamanatkan oleh masyarakat kepada pemerintah desa. Dan efek besarnya adalah manipulasi dan resistensi praktek korupsi yang sama sekali tidak terdeteksi oleh sistem akuntabilitas yang semacam ini.

Bahkan jika pola pikir ini terus dipertahankan akan muncul “anekdot resmi pemerintah”. Manakala dipertanyakan mengenai kasus penyimpangan tugas dan kewenangan, birokrat akan sering berkata “kami belum menerima laporan mengenai hal itu”. Respons semacam ini justru mengesankan bahwa dengan berbagai laporan resmi, aparatur pemerintahan justru melaporkan segala aktivitasnya termasuk aktivitas penyimpangan bahkan korupsi. Praktek akuntabilitas dalam perspektif yang sempit ini akan memperlebar celah antara laporan dan kenyataan. Di dalam laporan akan tertera “hal-hal indah” yang sudah tentu berbeda dengan kenyataan pelaksanaan.

Paradigma Good Governance kemudian menggeser pola pikir ini, akuntabilitas yang semula bermakna laporan kemudian dimaknai sebagai keterbukaan akses. Istilah-istilah yang biasanya terkait dengan akuntabilitas seperti transparansi kemudian dimaknai sebagai ‘akses’. Desa yang akuntabel dinilai sebagai desa yang memberikan ‘akses’ sebesar-besarnya kepada pihak non-pemerintah desa tidak hanya akses untuk sekadar mengetahui tapi turut ambil bagian dalam pelaksanaan tugas pemerintah misalnya dalam perencanaan, implementasi dan evaluasi kebijakan dan program-kegiatan pemerintah.

Sepintas, pendekatan baru (Good Governance) ini, nampak sempurna namun jika dianalisis lebih mendalam, tentu masih banyak kekurangannya. Dalam pendekatan Good Governance, keberadaan akses dianggap baik terlepas dari keadaan apapun. Sebagaimana ungkapan Fadillah Putra berikut:

Akses harus diberikan, terlepas dari apakah akses kemudian justru memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk mendapatkan keuntungannya sendiri dengan merugikan kepentingan yang lebih luas. Di sisi lain, akses itu seringkali juga hanya bisa dimiliki oleh kalangan yang memiliki kapasitas yang memadai untuk mengaksesnya, sementara sebagian besar masyarakat belum tentu memiliki kapasitas untuk itu. Sebagai misal akses terhadap rencana peraturan daerah, misalnya. Meski informasi mengenai konsep dan isi dari rancangan perda tersebut telah dibuka seluas-luasnya, namun berapa banyak kalangan masyarakat yang memahami apa makna dan konsekuensi dari konsep dan isi rancangan perda tersebut buat kehidupannya sehari-hari sebagai masyarakat?[8]

Ternyata, akses tidak secara otomatis menghapuskan ketimpangan yang melekat pada kehidupan kaum “elit” dan “alit”. Akses mengenai informasi-informasi yang berkaitan dengan jalannya pemerintahan ternyata hanya dapat dinimkati oleh sebagian kecil masyarakat saja. Mari menengok proses musyawarah perencanaan pembangunan desa (Musrenbangdes), siapa yang terlibat di sana dan kepentingan siapa yang disuarakan? Tentu yang hadir bukan masyarakat miskin yang jumlahnya lebih banyak, yang datang adalah sebagian kecil masyarakat yang merupakan “elit” desa. Bagaimana jika proses yang semacam ini kemudian menghasilkan kebijakan yang hanya berpihak kepada kepentingan para elit masyarakat saja karena hanya para elit yang mampu memahami informasi mengenai dunia pemerintahan desa.

Dengan kata lain, akuntabilitas dalam perspektif Good Governance, hanya dapat dinikmati oleh mereka yang memiliki kapasitas untuk memanfaatkan akses, dan bukan oleh khalayak masyarakat miskin yang jumlahnya lebih banyak dan tak memiliki kemampuan dalam turut serta di kehidupan pemerintahan. Makna publik dalam khazanah Old Public Adminstration adalah pemerintah supra-desa (Kabupaten, Provinsi dan Pusat) serta BPD yang dianggap representasi masyarakat. Kemudian, makna publik bagi Good Governance adalah masyarakat elit. Publik yang berarti masyarakat luas termasuk di dalamnya adalah masyarakat miskin belum terakomodir secara jelas.

Pada kedua pendekatan di atas, masyarakat luas termasuk masyarakat miskin dianggap pasif dan menunggu “kebaikan hati” dari ‘orang luar’ untuk meningkatkan kapasitasnya dalam mengakses informasi. Siapa lagi ‘orang luar’ yang harus harus “berbaik hati” untuk menguatkan kapasitas masyarakat kalu bukan pemerintah, akademisi, dan para pegiat pemberdyaan masyarakat? Jawaban atas pertanyaan ini akan dibahas di akhir tulisan ini.

New Public Governance: Memaknai Akuntabilitas Sekaligus Pemberdayaan

Akuntabilitas sejatinya bukan hanya soal laporan pertanggungjawaban dan pembukaan akses, akuntabilitas juga menyangkut jaminan perlindungan masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan. Pertanggungjawaban adalah jalan menuju akuntabilitas bukan makna dari akuntabilitas itu sendiri. Dengan adanya akuntabilitas yang berarti laporan pertanggungjawaban dan pembukaan akses, masyarakat miskin tidak secara otomatis sejahtera dengan sendirinya, korupsi pun tidak serta merta hilang dari dunia.

Akuntabilitas Old Public Administration yang mengutamakan laporan pertanggungjawaban akan lebih sibuk melayani atasan sedangkan akuntabilitas Good Governance yang mengutamakan pembukaan akses juga akan lebih sibuk melayani para elit masyarakat. New Public Governance, kemudian memperluas akuntabilitas sehingga bisa dinikmati oleh masyarakat secara umum terutama masyarakat miskin dan marjinal. Bagaimana caranya?.

Akuntabilitas diarahkan pada sinergitas layanan publik bagi pencapaian tujuan-tujuan kesejahteraan dan keadilan sosial dan ekonomi rakyat. Pemerintah dalam hal ini dianggap akuntabel manakala layanan publik diberikan secara keseluruhan dan mendukung terciptanya kemajuan kesejahteraan, keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh masyarakat tanpa kecuali.[9] Akuntabilitas harus dimaknai dengan masyarakat yang aktif, desa yang akuntabel adalah desa yang didiami oleh masyarakat yang aktif.

Aktifnya masyarakat desa hanya mungkin terjadi jika berbagai bentuk ketimpangan terutama ketimpangan kemampuan (kapasitas) diatasi secara fundamental bukan inkremental. Problem utama dalam penguatan masyarakat adalah gaya kepemimpinan yang tidak demokratis, pemerintah (bukan hanya pemerintah desa) pada umumnya akan merasa terusik jika memiliki masyarakat yang kritis.

Dalam konteks kekinian, siapa yang mau disebut sebagai pemimpin yang tidak demokratis?. Tentu setiap aparatur Negara dari presiden hingga kepala desa mengklaim bahwa dirinya sudah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi hanya karena mereka tidak pernah menghalangi masyarakat untuk “bebas menyuarakan pendapat dan mengundang masyarakat dalam berbagai forum musyawarah”. Membebaskan masyarakat bersuara dan mengundang untuk turut serta dalam musyawarah desa tidak serta merta menjadikan pemerintah desa itu menjadi demokratis dan akuntabel.

Apa yang akan disuarakan masyarakat dalam musyawarah desa ketika masyarakat itu tidak mampu mengenali masalahnya? Apa yang akan dikatakan masyarakat ketika mereka tidak terbiasa bersuara dan tidak bisa “berbahasa formal” seperti yang dilakukan oleh elit dan perangkat desa pada saat musyawarah desa? Di samping membuka peluang agar masyarakat bersuara, pemerintah desa juga harus mampu melakukan pembinaan agar masyarakat menjadi capable dalam mengakses informasi dan berdaya dalam seluruh aspek kehidupannya baik dalam hal ekonomi, sosial, politik, pendidikan dan kesehatan.

Saat ini keberdayaan sering kali dimaknai bagaimana masyarakat mampu bersuara terhadap pemerintahnya. NPG memaknai keberdayaan sebagai kemampuan masyarakat dalam menjalankan aktivitas sosial-politik dan ekonominya. Masyarakat yang berdaya bisa jadi belum mampu bersuara di dalam forum-forum desa, namun adalah masyarakat yang lebih menikmati berbagai bentuk dukungan dari sistem-sistem tata kelola pemerintahan yang ada guna menjalani aktivitas sosial-politik dan ekonominya. Masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang bisa tumbuh berkembang kemakmuran, kecerdasan, dan kesadaran politiknya secara lebih cepat berkat dukungan yang diterimanya dari sistem tata kelola pemerintah yang ada. [10]

Untuk menyederhanakan bagaimana akuntabilitas New Public Governance (yang berarti pemberdayaan), mari kita tengok konsep corporate social responsibility (CSR) di dunia bisnis. Melalui konsep CSR, akuntabilitas dimaknai sebagai penguatan masyarakat. Dalam konteks CSR, akuntabilitas tak lagi diartikan sebagai laporan pertanggungjawaban tertulis pihak perusahaan kepada masyarakat mengenai aktivitas-aktivitasnya. Justru inti dari konsep CSR ialah bagaimana perusahaan memiliki dampak yang nyata terhadap kehidupan masyarakat di sekitarnya. Akuntabilitas bukan sesuatu yang tertulis, namun sesuatu yang bisa dialami dan dirasakan secara langsung maupun tak langsung oleh masyarakat. Tidakkah konsep akuntabilitas seperti ini pula yang lebih diperlukan untuk sistem tata kelola pemerintahan desa?

Jika semua pihak sudah menyadari kesesatan dalam memaknai akuntabilitas, hal terpenting berikutnya tidak lain adalah bagaimana mewujudkan akuntabilitas. Konsep pendorong terwujudnya akuntabilitas dalam paradigma baru di atas adalah pemberdayaan masyarakat yang akan dibahas dalam pembahasan berikut.

Pendekatan Baru dalam Pembangunan

Berbagai teori pembangunan yang ada selama ini memang belum berhasil mengupas secara tuntas mengenai kegiatan-kegiatan pembangunan ekonomi yang ada di daerah apalagi pembangunan desa. Karena itulah sangat penting untuk melakukan perumusan ulang paradigma baru perencanaan pembangunan ekonomi desa yang lebih komprehensif. Diperlukan suatu sintesis di antara berbagai pendekatan yang ada sehingga bisa dihasilkan rumusan baru tentang pembangunan ekonomi di desa secara lebih tepat. Dalam berbagai pandangan yang ada terdapat beberapa perbedaan antara konsep lama dan baru tentang pembangunan.

Tabel 6 : Pendekatan dan Konsep Baru dalam Pembangunan

 

No. KOMPONEN KONSEP LAMA KONSEP BARU
1 Kelembagaan pembangunan Pengembangan sektor ekonomi –      Pengembangan lembaga-lembaga ekonomi baru

–      Pengembangan lembaga non-ekonomi baru

–      Penguatan lembaga non-ekonomi yang sudah ada

2 Fokus pembangunan Fokus pembangunan fisik Fokus pembangunan kualitas sumber daya manusia dan keberlanjutan lingkungan
3 Sumber daya pengetahuan ketersediaan angkatan kerja pengetahuan dan inovasi sebagai penggerak ekonomi
4 Ukuran keberhasilan perusahaan di desa Semakin baik jika semakin banyak perusahaan Perusahaan yang ada harus dimiliki oleh pemerintah desa (BUMDes), masyarakat desa setempat dan menyerap tenaga kerja lokal
5 Tujuan perusahaan Semakin banyak menyerap tenaga kerja Perusahaan harus bergerak pada jenis usaha yang sesuai dengan potensi SDA dan SDM penduduk lokal

Berdasarkan pemetaan tersebut dapat dipahami paradigma baru pembangunan ekonomi sangat mengandalkan pada adanya potensi penduduk setempat sesuai dengan kebutuhan. Tentu pendekatan ini sesuai konstruksi pengaturan desa oleh UU No. 6 Tahun 2014.

  1. Kelembagaan Pembangunan

Pergeseran paradigma pembangunan turut menggeser ukuran kesejahteraan. Dengan demikian upaya untuk menyejahterakan masyarakat tidak terbatas pada upaya ekonomi saja tapi juga lebih luas menyangkut pendidikan, kesehatan, keamanan, keagamaan, demokrasi dan sebagainya. Dengan demikian pemerintah desa beserta masyarakatnya harus menyadari bahwa prioritas pembangunan juga harus memperhatikan aspek-aspek di luar perekonomian.

Proses pembangunan desa pada dasarnya bukan sekadar transformasi ekonomi semata. Pembangunan juga mencakup dimensi sosial yang sering terabaikan dalam pendekatan pertumbuhan ekonomi. Dalam proses pembangunan selain mempertimbangkan pertumbuhan dan pemerataan juga dampak aktivitas ekonomi terhadap kebutuhan sosial masyarakat.

Selama ini masyarakat desa telah memiliki banyak lembaga yang bergerak di berbagai bidang. Tanpa adanya dukungan anggaran dari pemerintah pun, lembaga-lembaga ini mampu menjadi wadah aktualisasi diri masyarakat untuk kepentingan-kepentingan yang mereka usung. Dengan dukungan kewenangan dan anggaran yang lebih besar, pemerintah desa harus mengapresiasi dan memberikan dukungan dalam bentuk program pengambangan maupun dukungan anggaran terhadap lembaga-lembaga yang sudah ada ini.

  1. Fokus Pembangunan.

Pembangunan di Indonesia yang selama ini menerapkan paradigma pertumbuhan ekonomi melalui strategi teknokratik telah memberikan dampak buruk bagi desa. Strategi teknokratik menelurkan rekomendasi program investasi untuk meningkatkan infrastruktur pertanian khususnya dan ekonomi pada umumnya. Pendekatan ini tentu menghasilkan berbagai infrastruktur yang sering kali tidak sesuai dengan permasalahan yang sesungguhnya terjadi.

Manusia merupakan tujuan utama dari pembangunan. Penempatan manusia sebagai subyek pembangunan menekankan pada pentingnya penguatan kapasitas masyarakat untuk mengaktualisasikan kebutuhan dan potensinya. Dengan dibekali kapasitas, tentu akan tumbuh inovasi dan kemandirian masyarakat untuk menyejahterakan kehidupannya.

  1. Sumber Daya Pengetahuan

Terpusatnya konsentrasi pembangunan kepada hal-hal yang bersifat fisik (infrastruktur) sejatinya bukan hanya kesalahan pendekatan pembangunan saja. Ketidaktahuan masyarakat mengenai esensi pembangunan juga turut berkontribusi dalam hal ini. Selama ini masyarakat memberikan penilaian positif terhadap pemerintah desa jika dan hanya jika berhasil membangun gedung-gedung megah serta jalanan yang mulus.

Jika memang masyarakat desa turut berkontribusi dalam upaya pembangunan desa yang kurang tepat ini, apakah tugas untuk memulai perbaikan akan dibebankan sepenuhnya kepada mereka? Pendekatan pembangunan partisipatif menyatakan bahwa masyarakat desa sendirilah yang harus menolong dirinya. Prakarsa, untuk membantu masyarakat desa agar mampu menolong dirinya sendiri terletak di tangan ‘orang luar’ yang memiliki kekuatan dan berbagai sumber daya yang sudah barang tentu tidak dimiliki oleh masyarakat pedesaan.[11]

Memahami pembangunan sebagai partisipasi dan pemberdayaan tentu tidak berarti membiarkan. Proses penyadaran dan pendidikan kepada masyarakat harus difasilitasi oleh ‘orang luar’. Sekali lagi ditegaskan bahwa tugas ‘orang luar’ bukan mendidik ataupun mendikte tapi hanya mengawali dan memfasilitasi agar masyarakat desa mampu menyadari masalah dan potensinya sendiri.

  1. Ukuran Keberhasilan Perusahaan di Desa

Ukuran keberhasilan bukanlah banyaknya perusahaan yang berdiri tetapi seberapa besar potensi SDM lokal berhasil dimanfaatkan untuk penguatan perekonomian. Tidak akan ada artinya sebuah program pembangunan jika ternyata perusahaan yang berdiri di desa dimiliki oleh orang luar desa dan menyerap tenaga kerja dari luar desa. Akan lebih sempurna kondisi sebuah desa jika desa turut memiliki perusahaan yang dapat menambah pendapatan asli desa sekaligus menyerap tenaga kerja masyarakat lokal.

Pemerintah baik dari level pusat hingga level desa harus memberikan perlindungan atas kepemilikan komunal terhadap sumber daya alam yang selanjutnya melibatkan masyarakat lokal dalam eksploitasi. Kepemilikan usaha secara komunal atas prakarsa masyarakat merupakan pilihan kebijakan yang  cukup baik bila ditinjau dari aspek politik, aspek ekonomi, dan aspek keberlanjutan. Melalui kepemilikan bersama ini pemerintah desa bersama dengan masyarakat mampu mengontrol dampak atau biaya eksternalitas dan menikmati keuntungan bersama.

  1. Tujuan Perusahaan

Atas berdirinya sebuah usaha, masyarakat di mana sumber daya alam itu berada harus merasakan manfaat atas eksploitasi sumber daya alam yang bersangkutan. Pemerintah daerah dan pemerintah desa harus cermat melihat agar masyarakat desa seminimal mungkin menanggung biaya eksternalitas atas keberadaan sebuah unit usaha di desanya. Sumber daya alam maupun produk budaya lokal desa yang telah ada dan diproduksi secara turun temurun dapat digali dan dikembangkan untuk menghasilkan produk bernilai tambah sesuai tuntutan dan permintaan pasar.

Penutup

Pendekatan pembangunan spasial berdasarkan amanat UU No. 6 Tahun 2014 sejalan dengan paradigma baru akuntabilitas maupun paradigma baru pembangunan desa. Dengan penerapan pendekatan pembangunan spasial, diharapkan bisa menghasilkan integrasi yang baik di antara para stakeholder di desa. Hal ini dikarenakan pemerintah desa dan para stakeholder di tingkat desa lebih memahami apa yang harus dilakukan di desanya masing-masing. Pendekatan yang terpusat dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sering mengabaikan pertimbangan kebutuhan  dan local wisdom masyarakat desa. Hal ini telah menjadi pelajaran bersama yang terjadi di Indonesia termasuk di Jawa Timur. Oleh karena itu kombinasi antara pembangunan top down dan bottom up bisa dijadikan pendekatan baru yang lebih komprehensif.

Salah satu pokok yang harus diperhatikan dalam rangka menerapkan paradigma pembangunan desa yang lebih komprehensif ini adalah bagaimana proses identifikasi masalah dan potensi secara lebih realistis. Dalam RPJMDes harus digariskan hal-hal pokok untuk mencapai sasaran diantaranya adalah peningkatan potensi desa dan pengembangan sumber daya manusia masyarakat desa.

 

*Penulis adalah Konsultan Politik, Kebijakan, dan Perencanaan Pembangunan Daerah di Avemedia Research

 

Daftar Pustaka

Chambers, Robert. 1987. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. Jakarta: LP3ES.

Kartohadikoesoemo, Soetardjo. 1987. Desa. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Putra, Fadillah. 2013. New Public Governance. Malang: Universitas Brawijaya Press.

Redaksi Joglosemar. 2012. Gagalnya Program PNPM. diakses dari http://edisicetak.joglosemar.co/berita/gagalnya-program-pnpm-71968.html pada tanggal 31 Maret 2015

Remi, Sutyastie Soemitro dan Prijono Tjiptoherijanto. 2002. Kemiskinan dan ketidakmerataan di Indonesia: Suatu Analisis Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Sudarno, Rohidin. 2010. Sinkronisasi Perencanaan Desa dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: Pattiro.

[1] Soetardjo Kartohadikoesoemo, Desa (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1987), hal. 16-18.

[2] Sutyastie Soemitro Remi dan Prijono Tjiptoherijanto, Kemiskinan dan ketidakmerataan di Indonesia: Suatu Analisis Awal (Jakarta: Rineka Cipta, 2002).

[3] Ibid., hal. 29-30.

[4] Redaksi Joglosemar, Gagalnya Program PNPM (Surakarta: Joglosemar, 2012) diakses dari http://edisicetak.joglosemar.co/berita/gagalnya-program-pnpm-71968.html pada tanggal 31 Maret 2015

[5] Data keluarga miskin di banyak desa tidak sesuai dengan kondisi aktual. Hal ini menimbulkan beberapa keluarga yang sebenarnya miskin tidak memperoleh bantuan beras, sebaliknya keluarga yang tergolong kaya justru mendapat bantuan. Pemerintah desa sebagai ujung tombak pemerintahan (yang berhadapan secara langsung dengan masyarakat desa) harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk mewujudkan keadilan sosial dan meminimalisir konflik antar masyarakat.

[6] Rohidin Sudarno, Sinkronisasi Perencanaan Desa dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan, (Jakarta: Pattiro, 2010), hal. 36-45)

[7] Lihat Lawson dan Rakner (2005) dalam Fadillah Putra, New Public Governance (Malang: Universitas Brawijaya Press, 2013), hal. 158.

[8] Fadillah Putra, New Public Governance (Malang: Universitas Brawijaya Press, 2013), hal. 160.

[9] Ibid., hal. 169.

[10] Ibid., hal. 173.

[11] Orang luar yang dimaksudkan oleh Chambers diantaranya adalah para akademisi, peneliti, birokrat pemerintah, praktisi pemberdayaan, NGO, konsultan dan wartawan. Para orang luar ini memiliki banyak kelebihan sayangnya sering kali terjebak dalam kehidupan kota-sentris akhirnya pembelaan kepada desa tidak dilakukan secara serius. Lihat Robert Chambers, Pembangunan Desa Mulai dari Belakang (Jakarta: LP3ES, 1987), hal, 9-13.